Hilangnya "Palu" Pengawas: Kritik Koalisi Sipil terhadap Lemahnya Judicial Scrutiny dalam RUU KUHAP

 Hilangnya "Palu" Pengawas: Kritik Koalisi Sipil terhadap Lemahnya Judicial Scrutiny dalam RUU KUHAP


Salah satu pilar utama negara hukum adalah prinsip Judicial Scrutiny, yaitu mekanisme di mana setiap tindakan paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyadapan) oleh aparat penegak hukum harus diuji dan disetujui oleh hakim. Tujuannya sederhana: mencegah kesewenang-wenangan aparat bersenjata terhadap warga sipil.

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai bahwa Draf RUU KUHAP 2025 justru memperlemah, atau setidaknya gagal menegakkan prinsip ini secara utuh. Alih-alih menciptakan mekanisme Checks and Balances yang kuat, RUU ini dinilai melanggengkan dominasi penyidik yang minim pengawasan.

Berikut adalah empat argumen utama Koalisi Sipil mengapa mekanisme pengawasan hakim dalam RUU ini dianggap "ompong":

1. Ilusi "Hakim Pemeriksa Pendahuluan" (HPP)

Koalisi Sipil telah lama mendorong konsep Hakim Komisaris (seperti di Belanda atau Perancis), yaitu hakim khusus yang memimpin jalannya penyidikan untuk memastikan hak tersangka dilindungi.

Dalam RUU KUHAP, konsep ini diadopsi setengah hati menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Kritik utamanya adalah:

  • Kewenangan Terbatas: HPP dalam draf dinilai tidak memiliki wewenang aktif untuk menguji materi penyidikan. Mereka cenderung pasif dan hanya menunggu permohonan.

  • Hanya "Stempel" Administratif: Koalisi mengkhawatirkan HPP hanya akan berfungsi sebagai "tukang stempel" surat izin. Hakim tidak diwajibkan untuk memeriksa kualitas bukti (apakah bukti permulaan cukup kuat?) sebelum memberikan izin penahanan atau penyadapan, melainkan hanya memeriksa kelengkapan administrasi surat-menyurat.

2. Jebakan Pasal "Keadaan Mendesak" (The Urgency Loophole)

Seperti yang disorot dalam video kampanye viral, pasal-pasal yang membolehkan tindakan tanpa izin pengadilan dalam "keadaan mendesak" adalah mimpi buruk bagi Judicial Scrutiny.

  • Argumen Koalisi: Prinsip Judicial Scrutiny mengharuskan izin hakim keluar sebelum tindakan dilakukan (pre-authorization).

  • Masalah RUU: Dengan adanya klausul "mendesak", aparat bisa menangkap, menyita, atau menyadap dulu, baru melapor ke hakim kemudian (post-factum). Koalisi menilai ini membatalkan fungsi kontrol. Jika privasi sudah dilanggar atau orang sudah ditahan secara tidak sah, izin hakim yang keluar belakangan tidak bisa memulihkan kerugian tersebut. Hakim diposisikan pada situasi fait accompli (dihadapkan pada fakta yang sudah terjadi), sehingga sulit untuk menolak.

3. Lemahnya Mekanisme "Exclusionary Rule"

Judicial Scrutiny yang kuat memerlukan konsekuensi. Jika polisi memperoleh bukti dengan cara ilegal (misalnya menyadap tanpa izin atau menyiksa tersangka), bukti tersebut harusnya haram dipakai di pengadilan (Exclusionary Rule).

  • Kritik Koalisi: RUU KUHAP dinilai belum mengatur mekanisme Exclusionary Rule secara tegas dan otomatis.

  • Dampaknya: Walaupun hakim menyatakan penangkapan atau penggeledahan itu tidak sah, seringkali bukti yang didapat dari tindakan ilegal tersebut tetap diterima dalam persidangan pokok perkara. Ini membuat aparat tidak jera melakukan pelanggaran prosedur, karena "hasilnya" tetap bisa dipakai untuk memenjarakan orang.

4. Kegagalan Reformasi Praperadilan

Saat ini, mekanisme kontrol yang ada adalah "Praperadilan". Namun, Koalisi Sipil (terutama ICJR dan LBH) menilai Praperadilan di Indonesia sudah gagal karena hanya memeriksa aspek formil (surat lengkap atau tidak), bukan aspek materil (apakah orang ini benar-benar layak dijadikan tersangka berdasarkan bukti?).

  • Kekecewaan terhadap RUU: RUU KUHAP diharapkan mengubah ini menjadi sidang pendahuluan yang substantif (menguji alat bukti). Namun, draf yang ada dinilai masih mempertahankan semangat Praperadilan yang lama: formalitas birokrasi lebih diutamakan daripada perlindungan hak asasi manusia yang substantif.

Kesimpulan: Menuju Negara Kekuasaan (Machtstaat)?

Koalisi Masyarakat Sipil memperingatkan bahwa tanpa Judicial Scrutiny yang ketat, RUU KUHAP akan menggeser Indonesia kembali ke arah Police State (Negara Polisi).

Aparatur penegak hukum diberikan senjata canggih (wewenang penyadapan, akses data digital, pembekuan aset), namun "rem" pengendalinya (Hakim) dibuat blong. Inilah alasan mengapa seruan "Tolak RUU KUHAP" menggema: bukan untuk melindungi kriminal, melainkan untuk memastikan bahwa jika suatu hari Anda dituduh, ada hakim yang berkuasa melindungi hak Anda sejak detik pertama.

Posting Komentar

0 Komentar