Sebuah gelombang protes digital baru-baru ini muncul, disuarakan oleh berbagai kreator konten dan aktivis hukum yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Melalui sebuah video kampanye yang viral, mereka menyuarakan peringatan keras mengenai bahaya yang mengintai di balik Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Narasi utama yang dibangun sangat jelas dan mengkhawatirkan: "Semua bisa jadi korban, meskipun kita bukan kriminal." Berikut adalah bedah poin krusial berdasarkan pasal-pasal dalam draf RUU yang dianggap berbahaya bagi demokrasi dan hak sipil.
1. Legalisasi Penyadapan Tanpa Izin (Pasal 124/136): Mereka akan memperbolehkan HP-mu diretas jika mereka merasa 'terdesak'.
Salah satu poin paling kontroversial adalah kewenangan aparat untuk mengakses ranah privasi digital.
Fakta Hukum: Hal ini merujuk pada pasal penyadapan (seperti Pasal 124) yang menyisipkan klausul "Keadaan Mendesak". Meskipun izin pengadilan diwajibkan secara normatif, pasal ini memberikan pengecualian di mana penyidik bisa menyadap terlebih dahulu tanpa izin hakim jika merasa situasinya mendesak. Izin pengadilan baru dimintakan belakangan ("post-factum"), yang oleh aktivis dinilai menghilangkan fungsi kontrol yudisial (pengadilan) sebagai penjaga privasi warga.2. Penyitaan Aset Tanpa Kontrol Pengadilan (Pasal 112A): Barang-barang pribadi kalian bisa langsung disita tanpa keputusan pengadilan.
Prinsip due process of law (proses hukum yang adil) tampaknya terancam dengan mekanisme "Penyitaan Mendesak".
Fakta Hukum: Pasal 112A draf RUU KUHAP memperkenalkan wewenang penyitaan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri dalam situasi yang dianggap mendesak oleh penyidik. Tanpa pengawasan ketat di muka (pre-authorization), ketentuan ini rentan menjadi alat intimidasi, di mana properti warga bisa diambil paksa hanya berdasarkan subjektivitas petugas di lapangan.
3. Ancaman "Penghapusan" Ekonomi Digital (Pasal 139/140): Negara memberikan dirinya kewenangan untuk menghapus kehidupan online-mu, bahkan perbankan online.
Di era ekonomi digital, akses terhadap perbankan adalah nyawa.
Fakta Hukum: Pasal terkait Pemblokiran (Pasal 139/140) memberikan wewenang luas bagi penyidik untuk memerintahkan bank atau penyedia jasa keuangan memblokir rekening atau aset investasi seseorang. Kritikus menyoroti bahwa tindakan ini bisa dilakukan di tahap awal pemeriksaan, berpotensi melumpuhkan kehidupan finansial seseorang sebelum mereka terbukti bersalah di meja hijau.
4. Penegakan Hukum Berbasis "Vibes", Bukan Bukti
Kritik tajam dilontarkan terhadap potensi subjektivitas dalam penegakan hukum. Frasa "Not with vibes and feelings" menegaskan tuntutan masyarakat agar hukum bekerja berdasarkan bukti nyata (evidence-based). Koalisi sipil menilai bahwa banyaknya frasa "keadaan mendesak" dalam pasal-pasal di atas memberi ruang terlalu besar bagi "perasaan" atau intuisi penyidik, alih-alih bukti objektif yang diuji pengadilan.
0 Komentar